Opini: Penulis Adiya Prama Rivaldi Ketua Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepri
Inforakyat, Tanjungpinang- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Kepulauan Riau 2024 berpotensi terjadi berbagai praktik kecurangan yang dapat merusak integritas proses pemilu, baik dari pemilihan Gubernur hingga Bupati di Kabupaten Bintan. Potensi kecurangan tersebut berupa praktik dinasti politik serta penggunaan aparatur negara guna kepentingan pemenangan.
Dinasti politik, yang dengan sengaja dikonstruksi bahwa kekuasaan hanya boleh dikuasai oleh satu keluarga, dinasti politik ini memiliki dampak negatif bagi demokrasi tanah Air. Karena politik semacam ini dengan sengaja mengutamakan kepentingan kelompoknya.
Fenomena dinasti politik dalam sebuah permainan tata pemerintahan Indonesia bukanlah hal yang baru bahkan ini sudah terjadi sejak zaman kerajaan jauh berabad silam, tetapi Penulis menilai sejarah dinasti politik di Kepulauan Riau dimulai oleh keluarga “Ansar Ahmad” selaku Gubernur Kepulauan Riau saat ini, semenjak Provinsi ini berdiri selama 22 tahun lamanya.
Tinggal kita sebagai masyarakat bagaimana menyikapi persoalan dinasti yang telah mengakar.
Praktik dinasti politik memiliki dampak yang cukup buruk untuk sebuah sistem tata kelola pemerintahan, seperti rawannya praktik korupsi dan nepotisme, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan hingga penguasaan sumber daya publik guna kepentingan pribadi.
Kita melihat buruknya sistem perpolitikan yang ada di kepri ini ialah, ada ibu nya sebagai legislator, ada anaknya yang maju menjadi Bupati Bintan (calon tunggal), dan ada Bapaknya Maju di Pemilihan Gubernur Kepri saat ini, mau jadi apa Provinsi kita kedepan?, apakah sistem kerajaan atau sistem demokrasi??.
Waduh, ternyata sudah terlambat bahkan telah mengakar, seperti yang kita ketahui bahwa sebelumnya, Roby Kurniawan Ansar sebagai bupati bintan periode 2021-2024 telah berhasil memborong dengan total 13 partai pengusung dan pendukung yang ada di bintan demi hasrat nafsu keinginan dinasti dalam berkuasa agar tidak tergoyahkan dalam Pemilihan Bupati Bintan, yang kita ketahui bahwa pada saat itu ada pasangan Zulfaefi dan Nikolas Panama yang tidak disisakan satu partaipun untuk melawan Roby Kurniawan Ansar.
Itu baru anaknya yang telah berhasil memborong keseluruhan partai guna hasratnya yang tidak ingin kehilangan kekuasaan, pada saat itu hampir saja bapaknya juga berhasil dalam memborong partai politik sebelum ada putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah, ternyata impian “Ansar Ahmad” pupus setelah mengetahui bahwa partai yang tersisa saat itu PDI Perjuangan dan Nasdem ternyata di untungkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi dengan mengusung Muhammad Rudi dan Aunur Rafiq.
Seperti yang kita ketahui bahwa, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, Mahkamah juga memberikan rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota).
Demi hasrat dan keinginan tetap bertahan dalam kekuasaan karena dinilai telah gagal dalam memborong partai untuk Pemilihan Gubernur, perlu kita apresiasi terhadap strategi dan taktik Ansar Ahmad yang unggul dalam bermain catur kekuasaan, karena ia telah berhasil memposisikan serta melantik orang terpercayanya sebagai Penjabat Sementara di 3 Kabupaten/Kota Provinsi Kepri.
Sebenarnya 4 Penjabat tidak hanya 3 tetapi yang kita ketahui orang kepercayaan Ansar Ahmad ataupun tangan emasnya yaitu Hasan yang sempat menjabat sebagai Penjabat walikota tanjungpinang terjerat kasus dugaan pemalsuan surat tanah yang ada di bintan, walaupun hingga saat ini belum ada kejelasan kasus tersebut.
Tidak hanya itu, sebelum penetapan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri, Ansar Ahmad juga telah berhasil menggelontorkan puluhan miliar bantuan sosial untuk masyarakat pesisir bahkan tiba tiba menjelang Pilkada terbit SPP Gratis untuk anak anak SMA/SMK se-Kepulauan Riau.
Hebatnya gubernur ansar berani menentang himbauan bahkan usulan KPK dalam larangan pembagian Bansos sebelum pilkada, yang pada saat itu Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Tomsi Tohir mengatakan bahwa pihaknya akan menerbitkan imbauan agar pemerintah daerah tidak menggelontorkan bantuan sosial (Bansos) menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.
Tomsi juga mengatakan, himbauan tersebut sejalan dengan permintaan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata agar terdapat peraturan yang melarang pemerintah daerah (Pemda) penggelontoran bansos jelang pilkada.
Tidak hanya penulis yang mengamati dinasti politik yang terjadi saat ini, bahkan Indonesian Corruption Watch (ICW) juga mengamati fenomena semakin maraknya dinasti politik, bansos di pemilu dan pilkada namun tidak ada penegakan hukum yang jelas.
Bansos diperkirakan akan kembali digunakan untuk memenangkan kontestasi di Pilkada Serentak 2024 oleh petahana atau keluarga politik yang memiliki kontrol atas sumber daya negara. ICW juga memprediksi mahar politik tak hanya diberikan oleh bakal calon kepada partai politik untuk tiket pencalonan, namun juga agar partai tidak mengusung calon tandingan di Pilkada Serentak 2024.
“Yang kami duga terjadi, tidak hanya sebatas untuk mahar, tetapi juga untuk menjegal. Misal, tiket harganya sekian. Di luar itu, bisa naik kalau yang diberikan adalah tiket untuk tidak mencalonkan orang yang menjadi pesaing dia,” ujar Koordinator Bidang Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha dikutip dari rumahpemilu.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari menjelaskan, salah satu model kecurangan yang berpotensi terjadi di Pilkada 2024 ialah dengan merekayasa calon tunggal, seluruh partai politik dihimpun untuk mendukung satu calon, sehingga tak menyisakan kekuatan untuk mengusung calon lain. Pemaksaan partai politik untuk mendukung salah satu calon dilakukan melalui ancaman kasus hukum yang dilakukan oleh anggota partai, dan penguasaan partai politik.
“Beli seluruh perahu, beli seluruh partai dengan maharnya, sehingga tidak ada perahu yang tersisa. Wajar diduga trennya akan meningkat, karena hampir seluruh perkara calon tunggal dimenangkan oleh calon tunggal. Artinya, semua partai tergiur untuk melakukan praktik ini,” ucap Feri pada diskusi yang sama.
Dengan hal ini, dapat kita lihat kemajuan Kepri seperti apa yang diinginkan oleh politik dinasti yang telah diciptakan saat ini, bercita cita Kepri ini maju menuju indonesia emas 2045 atau runtuh di tangan sebuah keluarga yang disebut dinasti politik??.
Dinasti politik erat kaitannya dengan maraknya penyalahgunaan kekuasaan di pemerintahan. Sejak diterbitkannya sistem desentralisasi pemerintahan dan dianulirnya Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah sehingga tidak adanya larangan dan pembatasan praktik dinasti politik dalam regulasi pemerintahan.
Studi yang dilakukan oleh Bardhan dan Mokherjee (2005) di India terkait desentralisasi dan program kemiskinan berdampak terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh kalangan para elit sehingga meningkatnya praktek korupsi.
Beberapa penyebab yang terjadi, yaitu: pengelolaan sumber daya oleh daerah yang menguntungkan kalangan elit, kebijakan yang tidak efisien dan tidak menyasar kepada kelompok masyarakat yang rentan, dan menghasilkan kelembagaan yang tidak sehat dan pembusukan bagi institusi itu sendiri (Sujarwoto, 2015).
Bahkan demikian, jika dilihat praktik dinasti politik di Kepualaun Riau tidak jauh berbeda sehingga sangat berbahaya bagi negara kita yang menganut ideologi pancasila sebagai ideologi negara yang menjunjung tinggi keadilan sosial.
Jika dilihat praktek dinasti politik cukup membahayakan regenerasi kepemimpinan Kepulauan Riau ke depan. Penguasaan kepemimpinan daerah oleh elite tertentu akan membuka ruang penurunan kualitas demokrasi, kebijakan yang tidak pro rakyat, dan tentu terhambatnya penegakkan anti korupsi di suatu daerah.
Praktik dinasti politik dapat membuat krisis kepemimpinan dan keteladanan dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Sulitnya bagi calon pemerintah daerah terpilih yang bukan berasal dari kalangan elite tertentu membuat kekuasaan menjadi otoriter dan dipenuhi dengan kepentingan yang sangat kuat dan suburnya oligarki. Hal ini sejak reformasi 1998 hingga saat ini kekuasaan oligarki semakin subur dan sulitnya diberantas.
Dalam konteks ini, dinasti politik sah-sah saja, ketika seseorang mencoba memberikan ruang untuk keluarganya yang memiliki kompetensi. Catatan penting dari permasalahan tersebut yaitu satunya dipaksakan ketika tidak memiliki kompetensi untuk meneruskan atau melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu bahkan keluarga. Hingga akhirnya membuat publik bahkan penulis mengkritisi hal ini. (Red)