Inforakyat, Tanjungpinang- Untuk memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan meningkatkan pendapatan negara, Pemerintah Indonesia resmi membuka kembali ekspor pasir laut setelah penyesuaian regulasi sesuai PP. No 26 Tahun 2023.
Namun, pembukaan ekspor ini juga memicu reaksi dari berbagai kalangan. Sejumlah pihak mengingatkan tentang resiko atau dampak terhadap ekosistem pesisir yang bias timbul jika aktivitas tersebut tidak dikelola dengan hati-hati.
Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau terpilih, Wahyu Wahyudin, memberikan pandangan terkait kebijakan baru pemerintah yang membuka kembali keran ekspor pasir laut. Ia menekankan bahwa kebutuhan local harus diutamakan sebelum melakukan ekspor.
“Kebijakan ekspor ini sah karena telah disahkan oleh Presiden,” ungkap Wahyu. Selasa (8/10/2024).
Tetapi kalau untuk di Kepri sendiri, jika kebutuhan lokal belum tercukupi, sebaiknya kebutuhan lokal dulu dicukupi. Jika kebutuhan itu sudah tercukupi, maka tentu boleh untuk diekspor.
”Artinya kebijakan pemerintah pusat juga harus mendukung kebutuhan lokal,” lanjutnya.
Ia menambahkan, banyak wilayah di Batam yang sudah mengalami kerusakan akibat penambangan pasir darat. Sehingga pasir laut dapat menjadi solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang pesat di provinsi tersebut.
”Di lokal sendiri kosong, ternyata memakai pasir darat yang sekarang banyak terjadi di daratan Kota Batam, banyak yang sudah bolong-bolong. Akibat dari pasir yang tidak ada, jadi saya semangat, senang sekali bahwa sedimentasi dibuka untuk menutupi itu. Karena perkembangan pembangunan di Kepri ini cukup pesat sekali,” imbuhnya.
Lebih lanjut, tentu saja dampak lingkungan lambat laun pasti ada. Politisi PKS ini juga menyoroti pentingnya kajian lingkungan yang mendalam sebelum kebijakan ini dijalankan.
“Ini kan kajiannya dari pemerintah pusat, dari KLHK. Kemudian dari Kepri sendiri sampai saat ini belum diberikan. Saya kira selagi kajian itu dipakai untuk sedimentasi dengan alasan pendalaman alur, baik itu untuk kapal kapal perang ataupun untuk kapal kapal yang memang berbobot banyak, tentu diperbolehkan karena membantu perekonomian di wilayah Kepri,” ungkap Wahyu.
Untuk pengawasan, Wahyu menyatakan kekhawatirannya jika terjadi pelanggaran di lapangan.
“Nah ini yang dikhawatirkan saat di lapangan, jika area yang diberikan seluas 7.000 hektar, tapi ternyata melebihi batas, maka harus ada tindakan tegas dari pihak berwenang,” ungkapnya.
Pihaknya akan turun langsung ke lapangan untuk melihat lokasi dan memastikan titik koordinat sesuai.
“Kalau sampai mengabaikan itu, nelayan yang akan dirugikan. Jangan sampai ini menjorok ke daratan dan segala macam,” lanjutnya.
Sebab apabila lokasi yang digunakan untuk sedimentasi berdekatan langsung dengan penangkapan ikan seperti bubu dan tempat mancing, tentunya akan mengganggu mata pencaharian nelayan.
“Sebenarnya juga menjadi perhatian. Ada kasus nelayan di Batam yang ditangkap oleh polisi Singapura karena melebihi batas wilayah. Jika nanti sedimentasi terjadi, nelayan mungkin harus mencari ikan lebih jauh lagi, dan ini bisa berdampak buruk bagi mereka,” katanya. (Red)