Inforakyat, Jakarta- Tiga advokat senior dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) yakni Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, Luthfi Yazid, dan Dr. Stefanus Laksanto Utomo, melayangkan judicial review (JR) mengenai Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat ke Mahkamah Agung RI, Senin (25/3).
Tiga advokat senior yang sudah berpuluh tahun berprofesi advokat dan saat ini juga menjadi pimpinan di KAI merasa gerah dengan keluarnya Permen tersebut, yang keluar tiba-tiba tanpa mempertimbangkan implikasinya terhadap profesi advokat maupun organisasi advokat.
Tjoetjoe Sandjaja Hernanto menjelaskan, implikasi terhadap profesi advokat maupun organisasi advokat mengacu pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang advokat pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016.
Dalam pasal itu menyatakan bahwa yang berhak menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) adalah organisasi advokat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi, sementara Permen Ristekdikti No. 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat Pasal 2 ayat (2) huruf c tentang Program Profesi Advokat yang menyatakan bahwa, PKPA dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerjasama dengan Organisasi Advokat.
“Mengapa Permen ini menambah-nambahi syarat untuk penyelenggaraan PKPA, sementara Putusan Mahkamah Konstitusi hanya menyebutkan bahwa Organisasi Advokat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dengan akreditasi minimal B?,” sebutnya dalam realease yang diterima inforakyat.com
Poin Kedua, Permen Ristekdikti No. 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi AdvokatPasal 2 ayat (2) huruf c menyebutkan, dapat diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerjasama dengan Organisasi Advokat, sedangkan dalam Undang-Undang Advokat Pasal 2 ayat (1) jelas-jelas disebutkan bahwa Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
“Ketentuan PERMEN RISTEKDIKTI No. 5 Tahun 2019 ini adalah ketentuan “pasal-pasal karet” yang sudah tidak jamannya lagi untuk diterapkan karena selain menimbulkan ambiguitas, namun juga tidak memberikan kepastian hukum (legal certainty),” ungkapnya.
Selain itu, dalam poin ketiga judicial review yang dilayangkan KAI ke Mahkamah Agung RI menguraikan Pasal tentang pemberian gelar advokat, dalam Permen Ristekdikti no. 05 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat.
Ia menjelaskan, dalam pasal 5 ayat (2) gelar Advokat diberikan oleh Perguruan Tinggi, sedangkan dalam Undang-Undang Advokat pasal 3 ayat (1) huruf f dan pasal 2 ayat (2) yang berhak menguji dan pengangkatan sebagai Advokat adalah Organisasi Advokat.
“Bagaimana mungkin sebuah Permen Ristekdikti No. 5 Tahun 2019 mengesampingkan ketentuan dalam Undang-Undang Advokat?,” ungkapnya.
KAI berpendapat Permen Ristekdikti No.5 Tahun 2019 memiliki kesalahan fatal, minimal dalam tiga level. Pertama, Permen Ristekdikti Nomor 05 Tahun 2019 Cacat Hierarki karena peraturan menteri ini Tidak Taat Azas dan Tidak Koheren.
Menurut KAI sebuah peraturan yang lebih rendah mengapresiasi peraturan yang ada di atasnya. “Secara hierarki perundang-undangan ini jelas keliru. Sudah jelas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan namun ini justeru pertentangan,” sebutnya.
Pelanggaran dalam level kedua, disebutkan KAI Permen Ristekdikti Nomor 5 Tahun 2019 ‘cacat’ substantif karena secara substantive Permen Ristekdikti Nomir 5 Tahun 2019 mengabaikan substansi, hal-hal yang paling mendasar.
Sejarah, selama bertahun-tahun telah membuktikan bahwa dunia advokat memiliki otoritas substantive untuk mengelola dirinya sendiri sebagai sebuah organ negara yang independen.
Selain itu, KAI menjelaskan, organisasi advokat memiliki kompetensi yang teruji selama bertahun-tahun untuk menempa anggotanya agar memiliki keterampilan praktis, keahlian dan kompetensi sebagai advokat untuk turut serta aktif menegakkan hukum dan keadilan; sedangkan Perguruan Tinggi ranahnya berada pada tataran teoritis.
“Permen Ristekdikti No 5 Tahun 2019 secara substantive mengabaikan serta menihilkan peran Organisasi Advokat yang memiliki otoritas dalam pengembangan hukum praktis,” ungkapnya.
Pada poin ketiga, KAI menilai Permen Ristekdikti No 5 Tahun 2019 ‘cacat’ akademis, karena tidak diperhitungkan implikasi akademis dan finansial.
KAI menilai dengan terbitnya Permen Ristekdikti No 5 Tahun 2019 sama sekali tidak dipertimbangkan implikasi akademik secara detil dan finansialnya.
Implikasi akademik, misalnya, apakah perlu pemberian gelar akademik ataukah tidak? Bagaimana penerapan Sistem Kredit Semester (SKS) bagi calon advokat agar ilmunya aplikatif? Bagaimana juga dengan implikasi finansial atau pembiayaan dari penyelenggaraan pendidikan advokat a-quo?.
“Sekali lagi keluarnya Permen ini adalah sebuah kecerobohan dari lembaga eksekutif yang, suka maupun tidak, telah mengintervensi bahkan “mengkudeta” Organisasi Advokat yang sejatinya mereka lebih tau tentang dunia advokat yang secara historis telah terbukti sanggup mendidik advokat untuk memliki keterampilan praktis guna memperjuangkan prinsip-prinsip negara hukum dan membela para pencari keadilan (justice seekers),” ungkapnya.
KAI beralasan judicial review/hak uji materiil ini diajukan dan sudah sepatutnya dan secepatnya Permen tersebut agar dicabut sebelum menimbulkan implikasi-implikasi buruk lebih lanjut yang akan merugikan. (Red)