Inforakyat, Tanjungpinang- Rumah calon Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah, setiap hari selalu didatangi puluhan hingga ratusan orang. Pemandangan ini bukanlah hal baru dan bukan semata karena ia kini mencalonkan diri sebagai wali kota.
Jauh sebelum memutuskan untuk maju dalam Pilkada Tanjungpinang, rumah Lis selalu ramai dikunjungi warga.
Kedatangan ratusan warga ini umumnya untuk bersilaturahmi atau berbagi cerita tentang kesulitan hidup yang mereka alami.
Lis, yang dikenal tidak bisa melihat orang lain bersedih, selalu membuka pintu rumahnya dan dengan hati tulus mendengarkan keluh kesah mereka, berusaha meringankan beban mereka semampunya.
Lis Darmansyah tumbuh dengan satu prinsip yang tak pernah luntur yaitu hidup ini berjalan apa adanya, tapi yang terpenting adalah bagaimana hidup ini bermanfaat bagi orang lain.
Prinsip ini, yang ia warisi dari sang almarhum Ibu Hj. Siti Halimah Tun Sa’dah Bachry, telah melekat dalam setiap langkah hidup Lis. Bukan sekadar kata-kata, melainkan sebuah filosofi mendalam yang teruji oleh pengalaman hidup dan perjuangan keluarganya dalam menghadapi keterbatasan.
Sejak kecil, Lis menyaksikan ketulusan dan pengorbanan ibunya yang bekerja keras untuk menyambung hidup.
Salah satu kenangan yang tak pernah ia lupakan adalah ketika ibunya membuat kue lapis hingga larut malam.
Kala itu, pukul tiga dini hari, Lis yang masih mengantuk tak sengaja menginjak sewadah kue yang sudah disiapkan ibunya untuk dijual keesokan harinya. Kue tersebut hancur, dan bagi keluarga kecil mereka, itu adalah kehilangan yang berarti.
Alih-alih memarahi Lis, ibunya justru memeluknya dengan lembut, dan berkata bahwa kue yang hancur itu akan mereka makan bersama. Dalam kesederhanaan itu, Lis memahami arti ketulusan dan penerimaan.
Ibunya juga kerap bercerita tentang bagaimana hidup mereka yang dahulu berkecukupan berubah saat ayah Lis meninggal. Sang ibu tidak lagi memikirkan soal harta dan duniawi, melainkan sepenuhnya mencurahkan perhatian pada anak-anaknya.
Kenangan lainnya adalah ketika ibunya mengajarkan pentingnya persaudaraan. Sang ibu selalu berkata bahwa setiap Muslim yang bersalaman adalah saudara. Kebiasaan ini ia tanamkan pada Lis sejak kecil. Setiap kali bertemu banyak orang, Lis tak ragu bersalaman satu per satu sebagai wujud penghormatan dan rasa persaudaraan.
“Setiap yang kamu sentuh itu adalah saudaramu,” kata ibunya suatu hari, sembari menekankan pentingnya bersalaman.
Sejak saat itu, setiap kali bertemu orang, tak peduli sebanyak apa, Lis selalu menyempatkan diri bersalaman satu per satu sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayang yang diajarkan ibunya.
Selain itu, ibunya juga mengajarkan Lis untuk berdoa dalam kesunyian. Setiap kali Lis menginginkan sesuatu, baik itu sepeda atau pakaian, ia diajarkan untuk menangis dan memohon di sajadah. Hal ini tertanam dalam benaknya, menjadi tempat ia berlabuh ketika menghadapi masalah.
Setiap kali Lis menginginkan sesuatu, ia diajarkan untuk tak langsung memintanya pada orang tua. Ibunya juga mengajarkan Lis untuk berdoa dalam kesunyian. Setiap kali Lis menginginkan sesuatu, baik itu sepeda atau pakaian, ia diajarkan untuk menangis dan memohon di sajadah.
Di sanalah tempatnya berlabuh, sebuah pelajaran hidup yang membuatnya lebih tegar dan kuat. Hingga kini, saat ia menghadapi tantangan, Lis akan kembali pada kebiasaan itu. Menemukan kekuatan dalam doanya, mencari ketenangan di sajadah yang menjadi saksi perjuangannya.
Namun, ketika Lis sudah beranjak dewasa dan bekerja di Inggris, ujian besar kembali datang. Ia mendapatkan kesempatan berkarier di luar negeri, bahkan berencana menikah dengan seorang wanita asal Irlandia.
Namun, kabar bahwa ibunya sakit keras tiba-tiba datang memanggilnya pulang. Lis tak berpikir dua kali, ia meninggalkan semuanya dan segera kembali ke Jakarta. Sesampainya di rumah, ibunya ternyata duduk dengan tenang di teras.
Dalam hatinya, ia tahu alasan sesungguhnya bahwa ibunya tak ingin ia menikah dengan orang asing dan memilih pulang untuk keluarga. Tiket serta paspornya dipotong oleh ibunya, memberinya pilihan antara pekerjaan atau keluarga. Lis memilih keluarganya, tanpa ragu.
Setiap kenangan bersama sang ibu membuat hati Lis bergetar, karena ia tahu betapa luar biasanya perempuan itu. Di hadapan saudaranya, ibunya selalu memujinya, tapi di hadapan Lis, saudaranya lah yang lebih sering dipuji. Di situ Lis tahu, ibunya ingin ia tumbuh dengan rendah hati, tidak pernah merasa dirinya lebih dari yang lain.
Begitu dalamnya cinta dan pengajaran itu, sehingga setiap kali Lis membicarakan ibunya, tak jarang ia merasa ingin menangis, teringat wajah perempuan yang begitu tabah, begitu lembut, dan penuh kasih.
Hingga kini, setelah ibunya berpulang, Lis masih merasakan kekosongan yang sulit ia jelaskan. Selama enam bulan setelah kepergian ibunya, Lis merasa terpuruk, kehilangan arah hidup.
Ibunya adalah tempat Lis berpulang dan mencari ketenangan. Sebelum ibunya meninggal, Lis selalu meminta izin pada ibunya dengan sujud dan mencium tangannya, memohon agar Tuhan mengabulkan doa ibunya.
Semua pengorbanan dan pelajaran ibunya itulah yang menjadikan Lis seperti sekarang. Setiap kali melihat seseorang dalam kesusahan, ia merasa seperti melihat cerminan dirinya di masa lalu, saat hidup tak selalu mudah.
Ia tak pernah menanyakan keaslian cerita mereka yang datang ke padanya. Baginya, membantu adalah panggilan nurani, seperti yang ibunya ajarkan.
Bagi Lis, hidup yang berarti adalah hidup yang berguna untuk orang lain, sebuah warisan yang abadi dari ibunya, yang selalu ia pegang dan akan ia teruskan. (Red)