Opini
Oleh: Adiya Prama Rivaldi
(Ketua Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau)
Tanjungpinang– Pembahasan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) penting, yaitu RUU Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), RUU Kepolisian (RUU Polri), dan RUU Kejaksaan, telah menuai reaksi keras dari berbagai kalangan.
Masyarakat sipil, akademisi, hingga pakar hukum menilai bahwa ketiga RUU ini tidak hanya tidak memiliki urgensi, tetapi juga berpotensi mengancam prinsip-prinsip fundamental dalam sistem demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Seharusnya, revisi terhadap undang-undang lembaga penegak hukum dan pertahanan dilakukan untuk memperkuat transparansi, akuntabilitas, serta pengawasan terhadap mereka. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Ketiga RUU ini membuka peluang bagi semakin meluasnya kewenangan tanpa pengawasan yang memadai, yang pada akhirnya dapat menciptakan ketimpangan kekuasaan, penyalahgunaan wewenang, dan melemahkan sistem demokrasi di negeri ini.
RUU TNI: Kembalinya Militer ke Ranah Sipil?
Salah satu isu utama dalam revisi UU TNI adalah adanya perluasan kewenangan TNI dalam ranah sipil, yang jelas bertentangan dengan semangat reformasi 1998.
Reformasi bertujuan untuk menempatkan militer kembali ke barak dan menghapus peran mereka dalam kehidupan sipil yang sebelumnya sangat dominan di era Orde Baru. Namun, RUU TNI 2025 tampaknya justru membawa Indonesia ke arah sebaliknya.
Beberapa poin yang menjadi sorotan utama:
1. Kewenangan TNI dalam tugas non-militer
RUU ini memberi ruang lebih luas bagi TNI untuk terlibat dalam tugas-tugas non-militer tanpa pengawasan yang jelas. Ini bisa berujung pada dominasi militer dalam kehidupan sipil, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.
2. Minimnya pengawasan terhadap TNI
Tidak ada mekanisme pengawasan independen yang memadai dalam RUU ini. Tanpa pengawasan yang ketat, perluasan peran TNI dalam ranah sipil berpotensi disalahgunakan, terutama dalam kebijakan yang menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat.
3. Tidak menyelesaikan masalah utama di tubuh TNI.
Seharusnya, revisi UU TNI lebih berfokus pada peningkatan transparansi, profesionalisme, dan perbaikan sistem peradilan militer. Sayangnya, RUU ini justru lebih menitikberatkan pada perluasan kewenangan tanpa solusi konkret terhadap permasalahan mendasar di dalam tubuh TNI.
Jika revisi ini disahkan, kita bisa menghadapi situasi di mana peran TNI dalam kehidupan sipil semakin luas dan berpotensi mengganggu mekanisme demokrasi serta hak asasi manusia.
RUU Polri: Menuju Polisi Superpower Tanpa Kontrol?
Sementara itu, RUU Kepolisian juga menjadi sorotan tajam karena memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada institusi Polri tanpa adanya mekanisme pengawasan yang seimbang. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadikan Polri sebagai lembaga superbody yang nyaris tak tersentuh.
Beberapa poin krusial yang memicu penolakan terhadap RUU ini antara lain:
1. Peningkatan usia pensiun tanpa urgensi yang jelas.
Usia pensiun anggota Polri dinaikkan menjadi 60-62 tahun, sementara pejabat fungsional hingga 65 tahun. Padahal, tidak ada alasan konkret mengapa hal ini perlu dilakukan. Justru, peningkatan usia pensiun bisa menghambat regenerasi di dalam tubuh Polri.
2. Kembalinya PAM Swakarsa
PAM Swakarsa yang kontroversial dihidupkan kembali melalui RUU ini. Kita tentu masih ingat bagaimana PAM Swakarsa di era 1998 digunakan sebagai alat represi terhadap gerakan pro-demokrasi. Keberadaan pasukan ini berpotensi menjadi alat kontrol yang dapat disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
3. Perluasan kewenangan tanpa batas yang jelas.
RUU Polri memberikan kewenangan luas kepada polisi dalam berbagai bidang, termasuk pengawasan ruang siber dan penyadapan. Tanpa regulasi yang jelas, kewenangan ini bisa disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan mengontrol opini publik.
4. Minimnya mekanisme pengawasan terhadap Polri, Padahal, yang lebih dibutuhkan saat ini adalah penguatan mekanisme pengawasan eksternal terhadap Polri, bukan malah penambahan kewenangan yang bisa menjadikan mereka lebih sulit dikontrol.
Jika RUU ini disahkan, Polri bisa menjadi lembaga yang terlalu dominan dalam sistem pemerintahan tanpa ada mekanisme kontrol yang memadai. Ini tentu berbahaya bagi demokrasi dan hak-hak sipil masyarakat.
RUU Kejaksaan: Jaksa dengan Kewenangan Mutlak Tanpa Kontrol?
RUU Kejaksaan juga tidak luput dari kritik tajam karena memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada lembaga ini tanpa adanya mekanisme pengawasan yang memadai. Beberapa masalah utama dalam RUU ini adalah:
1. Perluasan kewenangan jaksa untuk menyidik sendiri
Dalam sistem peradilan pidana, penyidikan merupakan tugas kepolisian. Namun, RUU ini justru memberikan kewenangan bagi jaksa untuk menerima laporan dan melakukan penyidikan sendiri, yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
2. Asas Dominus Litis yang diperkuat
Jaksa diberikan kendali penuh atas kelanjutan perkara, termasuk penyelesaian di luar pengadilan. Meskipun bertujuan meningkatkan efisiensi, kewenangan ini bisa menimbulkan potensi penyalahgunaan dalam bentuk intervensi yang tidak transparan.
3. Kurangnya transparansi dalam penyusunan RUU
Proses penyusunan RUU Kejaksaan dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi publik yang memadai. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa aturan yang disusun lebih berpihak pada kepentingan kelompok tertentu daripada kepentingan umum.
Jika RUU ini disahkan, kejaksaan bisa menjadi lembaga dengan kewenangan mutlak yang dapat mengontrol proses hukum tanpa adanya mekanisme pengawasan yang memadai.
Penolakan Keras dari Masyarakat Sipil
Banyak elemen masyarakat yang telah menyuarakan penolakan terhadap ketiga RUU ini, di antaranya PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute, serta berbagai kelompok mahasiswa dan akademisi.
Penolakan ini bukan tanpa alasan. Ketiga RUU ini sama-sama memiliki kecenderungan untuk:
• Memberikan kewenangan yang berlebihan tanpa pengawasan yang jelas.
• Mengancam prinsip demokrasi dengan menempatkan lembaga-lembaga tertentu sebagai entitas yang nyaris tak tersentuh.
• Mengabaikan partisipasi publik dalam proses legislasi, yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam negara demokrasi.
Kesimpulan: Reformasi yang Seharusnya?
Jika memang ingin merevisi undang-undang yang mengatur TNI, Polri, dan Kejaksaan, maka seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang lebih transparan dan berorientasi pada penguatan pengawasan, akuntabilitas, dan profesionalisme.
Bukan dengan cara menambah kewenangan tanpa kontrol, tetapi dengan membentuk mekanisme pengawasan independen yang kuat.
Kita tidak bisa membiarkan RUU ini disahkan begitu saja tanpa adanya kajian yang lebih dalam dan partisipasi publik yang lebih luas.
Jika dibiarkan, RUU ini bisa menjadi langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan ketiga RUU ini harus dihentikan atau setidaknya ditunda untuk kajian yang lebih transparan dan demokratis. (Adi)