Home / Hukum / Skandal “Panama Papers”

Skandal “Panama Papers”

Badai telah datang. Kali ini kekuatannya berlipat-lipat dan siap melanda negara mana pun. Tak ada yang bisa memprediksi urutan negaranya.

Kali ini, badai dahsyat itu bukan angin topan sungguhan, melainkan berupa data raksasa. Data sebesar 2,6 terabita yang berisi 11,5 juta berkas itu diberi nama “Panama Papers”, atau Kertas Panama, atau sebut saja Dokumen Panama.

Dokumen Panama dibocorkan oleh seseorang yang kemudian diolah dan dipublikasikan jaringan jurnalis internasional di bawah bendera International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). ICIJ berbasis di Amerika Serikat, bagian dari proyek Center for Public Integrity.

Besarnya data melebihi kawat diplomatik yang dibocorkan WikiLeaks pada 2010, juga jauh lebih besar dari bocoran data terkait dokumen NSA yang dibocorkan Edward Snowden pada 2013.

Panama Papers memuat daftar klien kelas kakap yang menginginkan uang mereka tersembunyi dari endusan pajak di negaranya, atau setidaknya tak ingin negaranya tahu jumlah tabungannya. Beberapa dugaan ekstrem menyebut, skema ini biasa dimanfaatkan para “pencuci uang” untuk menyamarkan asal-usul dana mereka.

Dokumen rahasia itu diperoleh setelah seseorang berhasil meretas server e-mail milik firma hukum Mossack Fonseca di Panama. Pendiri Mossack Fonseca, Ramon Fonseca, meyakini dokumen yang diperoleh para jurnalis internasional itu bukanlah sebuah kebocoran, melainkan sebuah praktik peretasan ilegal.

Ia telah melaporkan kasus peretasan itu ke pihak berwajib. “Tindak kriminal satu-satunya yang telah terbukti adalah peretasan (server Mossack Fonseca) ini. (Namun) tak ada satu pun yang membahas soal ini,” kata Fonseca, seperti dikutip dari Reuters.

Fonseca mengklaim, semua aktivitas yang dilakukan perusahaannya adalah legal dan sudah umum dijumpai di banyak negara, termasuk di Amerika Serikat.
“Inilah badai tropis, seperti badai yang kami miliki di Panama, ketika badai telah berlalu, matahari pasti akan keluar bersinar terang,” kata Fonseca, memberi sinyal optimisme bahwa ia akan  bisa membuktikan kebenaran. “Saya menjamin bahwa kami tak bersalah dalam kasus ini,” kata Fonseca.

Ukuran file Panama Papers dibanding bocoran-bocoran file sebelumnya, menjadikannya yang terbesar sepanjang sejarah jurnalisme investigasi.

Korban pertama
Di dalam 11,5 juta berkas dokumen itu, terdapat nama-nama politisi, bintang olahraga, dan pesohor yang menyimpan uang mereka di berbagai perusahaan “cangkang” di luar negeri.
Dunia pun dibuat heboh. Apa yang diungkapkan oleh dokumen Panama Papers mengonfirmasi kasak-kusuk apakah benar para penguasa dan pengusaha itu berusaha mengindari pajak di negaranya.

Islandia adalah negara pertama yang disinggahi badai Panama Papers. Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson akhirnya mundur dan meletakkan jabatannya, Selasa (5/4/2016).

Setelah PM Islandia, siapa lagi yang akan menyusul? Tak ada yang tahu pasti.

Pada awal-awal publikasi Panama Papers, semua media Barat menjadikan wajah Presiden Rusia Vladimir Putin di halaman depan mereka. Beberapa media mengkritik, nama Putin tak pernah disebut dalam dokumen tersebut, tetapi media-media Barat sejak awal telah bersepakat untuk terus memojokkan Putin.

Di Indonesia, badai Panama Papers belum benar-benar dimulai karena Tempo belum merilis semua nama yang terlibat dalam Panama Papers. Tempo adalah anggota jaringan ICIJ yang dipercaya mengulik data Panama Papers untuk nama-nama Indonesia.

Dalam publikasi awal Tempo, disebutkan ada sekitar 899 nama Indonesia (baik perseorangan maupun perusahaan) yang ada di dalam Dokumen Panama.

Indonesia baru dihebohkan dengan bocoran 2.961 nama orang Indonesia yang berasal dari dokumen Offshore Leaks yang sudah terlebih dulu dipublikasikan pada 2013. Data itu ternyata bukan berasal dari Panama Papers.
Dalam publikasi awal itu, Tempo menjelaskan, Dokumen Panama bocor dari kantor firma hukum Mossack Fonseca di Panama, sedangkan data Offshore Leaks berasal dari firma Portcullis TrustNet di Singapura dan Commonwealth

Trust Ltd di British Virgin Island.

Kita akan melihat, apakah nantinya Dokumen Panama akan jadi “badai” di Indonesia, ataukah hanya “hujan rintik-rintik”.

Anggota Komite Etik Independen FIFA, Juan Pedro Damiani, mengundurkan diri setelah namanya tercantum dalam Panama Papers.

Nada optimistis vs pesimistis

Banyak yang optimistis, Dokumen Panama ini akan mampu mengungkap berbagai bentuk kebobrokan politisi dan figur publik yang korup dan menyembunyikan dananya di luar negeri.

Namun, ada pula yang pesimistis dengan mengatakan tak banyak yang sebenarnya bisa kita harapkan dari Panama Papers.

Selain dokumen itu hanya berisi daftar nama orang, yang tak bisa langsung dikaitkan dengan praktik ilegal, juga karena ada tuduhan miring bahwa dokumen ini tujuan utamanya untuk membidik pemimpin Rusia dan China. Negara-negara lain hanya dianggap sebagai pelengkap penderita.
Misalnya, simak pandangan Craig Murray dalam tulisannya Corporate Media Gatekeepers Protect Western 1% From Panama Leak.

Terlepas ada suara minor, melihat rekam jejak firma Mossack Fonseca, persepsi publik yang sejak awal curiga kepada nama-nama yang masuk dalam Panama Papers itu bisa dimaklumi.

Namun, tetap pantas bagi kita untuk tetap memberi peluang kepada nama-nama yang masuk di dalam dokumen itu untuk memberi klarifikasi.

Perlu digarisbawahi, tak semua nama yang disebut dalam data itu terlibat praktik kotor dalam pengelolaan aset dan keuangan. Memiliki perusahaan penghubung di luar negeri atau memiliki aset di luar negeri tak selamanya identik dengan praktik ilegal.

Tonggak “perang” data

Apa yang ditunjukkan oleh jurnalis internasional dalam memublikasikan bocoran Panama Papers telah menjadi tonggak pada abad ini yang menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan data itu. Data adalah alat baru pada era digital ini untuk mengungkap berbagai praktik yang menjurus ke kegiatan ilegal dan juga korupsi.

Jika boleh mengumpamakan, data adalah “senjata” efektif pada masa kini dan bahkan pada masa mendatang. Jika Anda ingin menggulingkan rezim korup, himpunlah data dan ajak publik untuk memahami data itu, bukan cuma bermain tagar atau hashtag.

Sudahi perang tagar di media sosial, karena salah-salah jika Anda warga negara Indonesia, dengan mudah Anda bisa dipenjara hanya karena bermain-main tagar. Anda boleh saja membuat aneka tagar hingga menjadi topik tren berkali-kali di media sosial, tetapi tak akan memiliki dampak sedahsyat kekuatan data.
Jika para politisi dan pengusaha memiliki “mata uang” berupa koneksi dan kekuasaan, masyarakat sipil pun kini terbukti punya “mata uang” baru tandingan, yaitu data. Data adalah kekuatan baru dan tambang emas baru bagi warga baru. Mari bersiap menyambut badai kertas Panama ini di Indonesia.

Kompas

About Redaksi

Check Also

Kasus Dugaan Pelanggaran Netralitas ASN Kabag Tapem Karimun di Bawaslu Resmi Naik ke Penyidikan

Inforakyat, Karimun- Kasus dugaan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan terlapor Kepala Bagian Tata …

Tinggalkan Balasan